Sekolah Tinggi Agama Islam Persatuan Islam Bandung




"* Barudak STAIPI Bandung,BerFilsafat Bersama Dosen FalSafaH IlMu *"

Jumat, 24 Juni 2011

Resensi Beautiful of Mind

"Sebagai penegasan, aku menambahkan sembari menggambar lingkaran besar yang kemudian kubagi dua dengan diameter," ujar Pi. Ya, Pi yang dimaksud adalah konstanta matematika yang di sini biasa ditampilkan sebagai Ia orang India dan tinggal di Pondicherry, kota di selatan Madras, di Tamil Nadu. Ayahnya pengusaha kebun binatang. Lantaran tak banyak punya teman--ya itu tadi, rekan-rekannya sering jahil--Pi pun lebih banyak menenggelamkan diri di kebun binatang ayahnya untuk memperhatikan detail koleksi hewan di kawasan yang mereka sebut sebagai zootown.
Jangan heran jika Pi sangat hapal dengan tingkah hewan-hewan peliharaan sang ayah. Dari jerapah yang tinggi sampai kura-kura, dari harimau bengal yang memiliki berat 225 kilogram sampai burung-burung yang cuma sekepal tangan. Semua punya nama. Kesibukan Pi yang lain: berenang dan beribadah. Tak seperti ayahnya yang lebih menyukai politik dan membenci agama, Pi amat tekun beribadah. Agama apa yang dianut Pi? Tak cuma Hindu. Pi juga belajar Kristen dan Islam. Ia dibaptis dan sekaligus mengucapkan syahadat. Ke mana-mana Pi membawa sajadah. Saat terpesona dengan kebesaran Tuhan ia pun spontan mengucapkan tiga nama sekaligus: Dewa Wisnu, Yesus dan Allah.
Lantaran memeluk banyak agama, guru-guru spiritualnya pernah bertengkar hebat. Rahib, pendeta dan ulama yang menjadi guru Pi suatu kali bertemu di satu tempat, di depan ayahnya. Masing-masing guru merasa Pi adalah murid terbaiknya. Adu mulut pun terjadi. Di situ ketahuan bahwa Pi "memborong" banyak agama. Pengetahuan tentang fauna dan agama--plus kemahirannya berenang--itulah yang menyelamatkan Pi dari drama menegangkan di tengah laut. Ia berada di sekoci sejak 21 Juni 1977 selama 227 hari bersama binatang-binatang buas. "Kisah yang luar biasa, penuh keajaiban, dan seperti ucapan salah satu tokoh di dalamnya, kisah ini akan membuat orang percaya pada Tuhan,"
Lewat buku ketiganya inilah penulis Kanada yang baru mulai menulis novel pada usia 27 tahun itu menyuguhkan sebuah cerita yang mengaduk rasa ingin tahu pembaca dan sekaligus sebuah pengetahuan yang langka tentang karakter-karakter hewan. Martel tak menulis biologi, anatomi, atau perilaku satwa layaknya ensiklopedi atau tontonan National Geographic. Martel mengetengahkan "kota hewan" dalam jalinan cerita novel yang memikat.
Buku yang diterbitkan di Kanada pada 2001 ini--diterjemahkan oleh Tanti Lesmana dan diterbitkan Gramedia Pustaka Utama pada akhir 2004--kemudian diganjar penghargaan Man Booker Prize 2002 dan telah menjadi bestseller internasional.
Apakah cerita Martel sebuah kisah nyata? Peristiwa yang dialami Patel benar-benar terjadi: kapal barang Tsimtsum yang ditumpanginya tenggelam dan ia satu-satunya penumpang yang selamat. Departemen Maritim Kementerian Transportasi Jepang membuat laporan resmi tentang tenggelamnya Tsimtsum di Samudera Pasifik setelah berlayar dari Madras menuju Kanada. Dari kapal itu hanya satu sekoci yang berhasil diturunkan dan di sana Pi bertahan selama lebih dari 7 bulan sebelum terdampar di Meksiko.Lalu hewan-hewan buas di sekoci berukuran panjang delapan meter dan lebar 2,5 meter itu? Penyelidik dari Kementerian Transportasi Jepang tak percaya dengan cerita Pi, tapi juga tak bisa menyangkalnya. Semua tuturan Pi logis dan anak muda India berumur 16 tahun tersebut punya sejumlah bukti di sekoci.
Pengarang 42 tahun itu memulai kisah dari cerita masa kecil Pi yang unik--antara lain tentang riwayat ledekan Si Kencing itu--hingga orangtuanya memutuskan pindah ke Kanada dengan membawa sejumlah hewan koleksi kebun binatangnya. Tsimtsum berlayar pada 21 Juni 1977 dan pada 2 Juli tenggelam di Samudera Pasifik.
Sebelum tenggelam, Pi dilempar ke sebuah sekoci oleh awak kapal. Di sekoci itu ternyata sudah ada seekor heyna. Ia juga menyaksikan seekor zebra melompat dari kapal ke sekoci dan mendarat dengan satu kaki patah. Di malam yang genting itu, Pi menyaksikan seekor harimau Royal Bengal seberat 225 kilogram hampir tenggelam, tapi dengan sisa-sisa tenaganya mampu mencapai sekoci. Penumpang terakhir adalah seeokor orangutan Kalimantan. Di sekoci inilah ketegangan tercipta. Hukum saling memangsa berlaku. Pi harus menghadapi maut: antara diterkam harimau dan heyna atau mati tenggelam dimakan hiu. Tapi anehnya pada tiga hari pertama tak ada yang mati. Hari-hari berikutnya heyna mulai melahap kaki zebra yang patah dan secara perlahan menggerus isi perut zebra. Kuda belang itu bertahan untuk beberapa hari sebelum mati.
Melihat kekejaman heyna, orangutan betina dari Kalimantan marah. Suara lengking keduanya beradu di udara. Orangutan memukul jatuh heyna, tapi dengan gesit hewan yang dikenal sebagai pemakan sisa-sisa bangkai itu mencengkeram leher orangutan dan putus. Akhirnya, di sekoci itu tersisa: heyna, harimau bernama Richard Parker, dan Pi. Ketiganya berhadapan. Richard Parker memilih memangsa heyna. Selama lebih dari enam bulan kemudian Pi harus membagi teritori sekoci dengan Richard Parker. Harimau mengencingi daerah kekuasaannya, Pi tak kalah: juga membuang air seninya di sisa sekoci. Berbekal peluit dan keberanian menatap mata harimau, Pi perlahan menaklukkan kebuasan Richard Parker. Ia pun mulai memancing ikan dan menyodorkan sebagian besar tangkapannya kepada Parker. Ia harus beradu cepat dengan rasa lapar harimau.
Dengan bekal makanan yang terbatas di sekoci, Pi dan Parker hidup dari ikan terbang, dorado, penyu, burung yang jatuh, dan hiu kecil. Minumnya dari air tadah hujan dan alat suling sederhana yang ada di sekoci. Di sinilah Pi mengandalkan hidup dari kemahapemurahan Tuhan. Sepanjang hari Pi sembahyang, membersihkan sekoci, memancing ikan, menyodorkan makanan pada Parker, membuang kotoran harimau, menangkap penyu, membetulkan jaring, dan menutup malam dengan sembahyang. Pi percaya ia bisa bertahan hidup dengan cara melawan kematian, menaklukkan samudera dan badai angin yang sering datang, dan yang lebih penting: melawan ketakutan terhadap harimau dan dirinya sendiri.


RESUME BEAUTIFUL OF MIND
Oleh: Nurjaman Sidiq
John Forbes Nash, Jr. adalah salah satu genius matematika Amerika Serikat paling menonjol di antara teman-teman segenerasinya. Pada usia dua puluh satu tahun ia adalah seorang mahasiswa pascasarjana yang cemerlang, bandel, menyebalkan, sekaligus sangat eksentrik di Princeton University ketika ia menemukan beberapa prinsip matematika-yang kini disebut kesetimbangan Nash-yang sangat penting untuk teori permainan atau same theory. Mencari dan mengamati sekitar demi mendapatkan ide kreativitasnya secara alami, untuk meraih gelar doktornya.
Namun tak banyak yang menyadari, John juga merupakan penderita skizofrenia. Suatu penyakit mental yang gejalanya antara lain, tak dapat membedakan antara halusinasi dan kenyataan, memiliki keyakinan yang salah/delusi, menarik diri dari pergaulan, serta kemampuan bersosialisasinya menghilang. Penyakit John ini semakin parah saat dia mulai bekerja di Wheller Defense Lab di MIT, sebuah pusat penelitian bergengsi.
Perubahan besar mulai terjadi saat John ditugaskan sebagai mata-mata oleh Pentagon. Dimana dia mulai terobsesi dan hidup jauh diambang normal, alias hanya dalam dunianya sendiri. Hal ini membuat sang istri menjadi nervous dan dilanda kecemasan. Adegan demi adeganpun bergulir cukup menegangkan. Namun alur kisah berjalan apik dan cukup menguras emosi. Terutama saat sosok sang istri berada dibatas keputusasaanya saat mengetahui kondisi jiwa sang suami. Ternyata pekerjaan sebagai mata-mata pentagon adalah sebuah ilusi dan bukan realitas sebenarnya. Inilah masalah terberat yang dialami para skizofrenia, karena beberapa realitas yang mereka alami adalah sebuah ilusi. Diperankan dengan sangat baik oleh aktor papan atas Russel Crowe sebagai John Nash, dan Jennifer Conelli sebagai istrinya. Film ini patut ditonton karena menambah pengetahuan kita, bagaimana perjuangan seorang skizofrenia dalam mengatasi situasi dirinya. Terutama efek penyakit yang diderita terhadap orang-orang disekelilingnya.
Penderita skizof sebenarnya menyadari keganjilan-keganjilan dirinya, meski tak mampu memahami apa yang sebenarnya terjadi. Digambarkan pula bagaimana orang-orang terdekatlah yang diharapkan mampu menjadi pilar utama kesembuhanya. Karena seorang skizof pada dasarnya sangat membutuhkan pengertian mendalam orang-orang dekatnya, agar mampu meyakini dirinya bahwa dia bisa sembuh. Namun terapi medis juga tetap diperlukan agar kesembuhan mencapai tarafnya kearah yang lebih baik.
Meskipun tak semua penyakit skizofrenia mudah disembuhkan dalam hitungan setahun dua tahun, melainkan bertahun-tahun lamanya, namun lewat film ini kita sebagai manusia normal sepatutnya tak langsung menganggap bahwa penderita skizofrenia adalah penyakit gila turunan atau penyakit yang hanya diderita oleh orang-orang tertentu saja. Karena dengan situasi mental yang rapuh dan stimulan otak alam bawah sadar yang tidak singkronisasi dalam aliran energinya, penyakit ini bisa menyerang siapapun.. Film produksi tahun 2001 ini dengan sangat jelas menggambarkan semua itu. Film ini adalah hasil saduran dari buku biografi karya Sylvia Nassar, untuk mengenang John Nash. Film ini diakhiri dengan adegan John Nash ketika menerima hadiah Nobel di Swedia pada tahun 1994 untuk teori ekulibriumnya yang banyak berjasa pada teori-teori ekonomi.
Ia menutup penganugerahan tersebut dengan mengatakan: “Aku selalu percaya akan angka. Dalam persamaan dan logika, yang membawa pada akal sehat. Tapi setelah seumur hidup mengejar, aku bertanya, apa logika sebenarnya? Siapa yang memutuskan apa yang masuk akal? Pencarianku membawaku ke alam fisik, metafisik, delusional. Telah kudapatkan penemuan penting dalam karirku, hidupku. Hanya dipersamaan misterius cinta, alasan logis bisa ditemukan” Pada usia tiga puluh satu tahun, tatkala sedang berada di puncak kariernya yang cemerlang serta tidak lama setelah menikah dengan seorang fisikawan muda yang cantik, Nash mendadak menderita mental breakdown yang sangat merusak dan belakangan didiagnosis menderita skizofrenia. Di bawah terpaan khayal-khayal yang menyiksa, dan membuatnya tidak berdaya, serta berulangkali harus meringkuk di balik tembok rumah sakit jiwa, Nash terpaksa menghabiskan tiga dasawarsa berikutnya sebagai sosok pendiam yang hanya sesekali muncul bak hantu di lingkungan kampus Princeton University.
Ketika usianya mencapai enam puluh tahun, kesehatannya semakin memburuk, dan keberadaannya praktis terlupakan, tiba-tiba dua keajaiban terjadi-yang pertama adalah kesembuhan yang hampir tak disangka-sangka dari skizofrenia, sedangkan yang kedua adalah keputusan Panitia Hadiah Nobel untuk menghargai prestasi gemilangnya di masa lampau. Dua mukjizat yang mengembalikan dunia kepadanya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar


Ayow Terus Tingkatkan Ilmumu, Jangan Pernah Menyerah, Gali potensimu Untuk mendapatkan Apa yang kamu Mau !!!