Sekolah Tinggi Agama Islam Persatuan Islam Bandung




"* Barudak STAIPI Bandung,BerFilsafat Bersama Dosen FalSafaH IlMu *"

Kamis, 30 Juni 2011

Resume Novel Life Of Pi


Oleh:
Nama : Ziyad Fakhrur Razi
Semester : IV (empat)
Jurusan : PAI
Fakultas : Tarbiyyah



Dengan menyebut nama Allah yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Sepatah kata mengenai informasi abstrak, immaterial, sekaligus metafisika mengenai progresivitas, animo, serta hasrat yang begitu memuncak untuk mengembangkan ilmu serta pendidikan yang diberikan. Akan tetapi “apalah daya di kata, maksud memeluk gunung, tapi tangan tak sampai” karena keterbatasan ilmu yag kami miliki, keterbatasan redaksi yang kami singgahi, serta karena terpatrinya sebuah kealfaan yang hina dina dan tak mulia dalam diri kami. Dengan segala rasa hormat yang kami genggam, kami memohon berjuta maaf kepada dosen filsafat yang bersangkutan yang sangat kami hormati, Rosihan Fahmi atas semua ketidak sempurnaan, dan atas semua ketidak layakan.
Sebuah Novel karya Yann Martel yang begitu menggugah hati, memunculkan ke daratan akan rasa ingin tau tentang Dzat Ilahi Robbi yang Azali dan Abadi, tentang sebuah pertolongan yang tak pernah mati ditelan bumi, membuat semua individu yang menggenggam buku tersebut tergali hati, seolah ter hypnosis untuk mengabdi dan selamanya menghambakan diri kepada adz-Dzat al –Azali. Kami persembahkan kepada para pembaca kelezatan dan kedalaman ma’na dari buku ini.
Nama: Piscine Molitor Patel. Orangtua dan sang kakak biasa memanggilnya Piscine. Tapi teman-temannya yang sering salah dengar memelesetkan namanya menjadi Pissing. Si Kencing. Lantaran kesal, setiap kali masuk sekolah baru ia pun buru-buru maju ke depan kelas dan menuliskan nama panggilannya di papan tulis: Pi.
"Sebagai penegasan, aku menambahkan: ii = 3,1428571428571... sembari menggambar lingkaran besar yang kemudian kubagi dua dengan diameter," ujar Pi. Ya, Pi yang dimaksud adalah konstanta matematika yang di sini biasa ditampilkan sebagai 22/7.
Ia orang India dan tinggal di Pondicherry, kota di selatan Madras, di Tamil Nadu. Ayahnya pengusaha kebun binatang. Lantaran tak banyak punya teman--ya itu tadi, rekan-rekannya sering jahil--Pi pun lebih banyak menenggelamkan diri di kebun binatang ayahnya untuk memperhatikan detail koleksi hewan di kawasan yang mereka sebut sebagai zootown.
Jangan heran jika Pi sangat hapal dengan tingkah hewan-hewan peliharaan sang ayah. Dari jerapah yang tinggi sampai kura-kura, dari harimau bengal yang memiliki berat 225 kilogram sampai burung-burung yang cuma sekepal tangan. Semua punya nama.
Kesibukan Pi yang lain: berenang dan beribadah. Tak seperti ayahnya yang lebih menyukai politik dan membenci agama, Pi amat tekun beribadah. Agama apa yang dianut Pi? Tak cuma Hindu. Pi juga belajar Kristen dan Islam. Ia dibaptis dan sekaligus mengucapkan syahadat. Ke mana-mana Pi membawa sajadah. Saat terpesona dengan kebesaran Tuhan ia pun spontan mengucapkan tiga nama sekaligus: Dewa Wisnu, Yesus dan Allah.
Lantaran memeluk banyak agama, guru-guru spiritualnya pernah bertengkar hebat. Rahib, pendeta dan ulama yang menjadi guru Pi suatu kali bertemu di satu tempat, di depan ayahnya. Masing-masing guru merasa Pi adalah murid terbaiknya. Adu mulut pun terjadi. Di situ ketahuan bahwa Pi "memborong" banyak agama.
Pengetahuan tentang fauna dan agama--plus kemahirannya berenang--itulah yang menyelamatkan Pi dari drama menegangkan di tengah laut. Ia berada di sekoci sejak 21 Juni 1977 selama 227 hari bersama binatang-binatang buas. "Kisah yang luar biasa, penuh keajaiban, dan seperti ucapan salah satu tokoh di dalamnya, kisah ini akan membuat orang percaya pada Tuhan," tulis Yann Martel, penulis Life of Pi.
Lewat buku ketiganya inilah penulis Kanada yang baru mulai menulis novel pada usia 27 tahun itu menyuguhkan sebuah cerita yang mengaduk rasa ingin tahu pembaca dan sekaligus sebuah pengetahuan yang langka tentang karakter-karakter hewan. Martel tak menulis biologi, anatomi, atau perilaku satwa layaknya ensiklopedi atau tontonan National Geographic. Martel mengetengahkan "kota hewan" dalam jalinan cerita novel yang memikat.
Buku yang diterbitkan di Kanada pada 2001 ini--diterjemahkan oleh Tanti Lesmana dan diterbitkan Gramedia Pustaka Utama pada akhir 2004--kemudian diganjar penghargaan Man Booker Prize 2002 dan telah menjadi bestseller internasional.
Apakah cerita Martel sebuah kisah nyata? Peristiwa yang dialami Patel benar-benar terjadi: kapal barang Tsimtsum yang ditumpanginya tenggelam dan ia satu-satunya penumpang yang selamat. Departemen Maritim Kementerian Transportasi Jepang membuat laporan resmi tentang tenggelamnya Tsimtsum di Samudera Pasifik setelah berlayar dari Madras menuju Kanada. Dari kapal itu hanya satu sekoci yang berhasil diturunkan dan di sana Pi bertahan selama lebih dari 7 bulan sebelum terdampar di Meksiko.
Lalu hewan-hewan buas di sekoci berukuran panjang delapan meter dan lebar 2,5 meter itu? Penyelidik dari Kementerian Transportasi Jepang tak percaya dengan cerita Pi, tapi juga tak bisa menyangkalnya. Semua tuturan Pi logis dan anak muda India berumur 16 tahun tersebut punya sejumlah bukti di sekoci.
Pengarang 42 tahun itu memulai kisah dari cerita masa kecil Pi yang unik--antara lain tentang riwayat ledekan Si Kencing itu--hingga orangtuanya memutuskan pindah ke Kanada dengan membawa sejumlah hewan koleksi kebun binatangnya. Tsimtsum berlayar pada 21 Juni 1977 dan pada 2 Juli tenggelam di Samudera Pasifik.
Sebelum tenggelam, Pi dilempar ke sebuah sekoci oleh awak kapal. Di sekoci itu ternyata sudah ada seekor heyna. Ia juga menyaksikan seekor zebra melompat dari kapal ke sekoci dan mendarat dengan satu kaki patah. Di malam yang genting itu, Pi menyaksikan seekor harimau Royal Bengal seberat 225 kilogram hampir tenggelam, tapi dengan sisa-sisa tenaganya mampu mencapai sekoci. Penumpang terakhir adalah seeokor orangutan Kalimantan.
Di sekoci inilah ketegangan tercipta. Hukum saling memangsa berlaku. Pi harus menghadapi maut: antara diterkam harimau dan heyna atau mati tenggelam dimakan hiu. Tapi anehnya pada tiga hari pertama tak ada yang mati. Hari-hari berikutnya heyna mulai melahap kaki zebra yang patah dan secara perlahan menggerus isi perut zebra. Kuda belang itu bertahan untuk beberapa hari sebelum mati.
Melihat kekejaman heyna, orangutan betina dari Kalimantan marah. Suara lengking keduanya beradu di udara. Orangutan memukul jatuh heyna, tapi dengan gesit hewan yang dikenal sebagai pemakan sisa-sisa bangkai itu mencengkeram leher orangutan dan putus. Akhirnya, di sekoci itu tersisa: heyna, harimau bernama Richard Parker, dan Pi. Ketiganya berhadapan. Richard Parker memilih memangsa heyna.
Selama lebih dari enam bulan kemudian Pi harus membagi teritori sekoci dengan Richard Parker. Harimau mengencingi daerah kekuasaannya, Pi tak kalah: juga membuang air seninya di sisa sekoci. Berbekal peluit dan keberanian menatap mata harimau, Pi perlahan menaklukkan kebuasan Richard Parker. Ia pun mulai memancing ikan dan menyodorkan sebagian besar tangkapannya kepada Parker. Ia harus beradu cepat dengan rasa lapar harimau.
Dengan bekal makanan yang terbatas di sekoci, Pi dan Parker hidup dari ikan dan alat suling sederhana yang ada di sekoci. Di sinilah Pi mengandalkan hidup dari kemahapemurahan Tuhan. Sepanjang hari Pi sembahyang, membersihkan sekoci, memancing ikan, menyodorkan makanan pada Parker, membuang kotoran harimau, menangkap penyu, membetulkan jaring, dan menutup malam dengan sembahyang.
Pi percaya ia bisa bertahan hidup dengan cara melawan kematian, menaklukkan samudera dan badai angin yang sering datang, dan yang lebih penting: melawan ketakutan terhadap harimau dan dirinya sendiri.
Sedikit ulasan mengenai keterkaitan buku ini dengan aspek kependidikan, bahwa ada satu hal besar yang mampu menjadikan seorang individu mampu meyakini, terlebih meng-imani akan pertolongan Tuhan yang kita tasbihi, mampu percaya, yaitu Pendidikan, ssebenarnya manusia mampu berjalan di muka bumi ini tanpa di didik atau hanya dengan bantuan milieu yang mendampinginya, akan tetapi sulit untuk mencapai derajat manusia yang hakiki. Tak ubahnya seperti apa yang dialami oleh Pi, Ia mampu percaya bahwa ia akan selamat, yaitu dengan keyakinan yang ia miliki, sedangkan diantara cara yang bias menimbulkan sebuah keyakinan adalah dengan di beri ilmu dan pendidikan.
Di samping itu, hewan pun bisa dilatih untuk menjadi hewan yang jinak, maka ketika manusia tidak mampu dilatih, dididik untuk menjadi manusia seutuhnya, kiranya ia lebih tidak pantas dan tidak layak untuk disebut manusia dari pada hewan yang buas seklapun.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar


Ayow Terus Tingkatkan Ilmumu, Jangan Pernah Menyerah, Gali potensimu Untuk mendapatkan Apa yang kamu Mau !!!